By. Dyan Agustina, MA
Resensi yang kita pakai dalam bahasa Indonesia sekarang ini berasal dari bahasa Belanda : recencie. Dalam bahasa Inggris resensi adalah review. Sedangkan dalam bahasa latin, resensi atau revidere memilik arti melihat kembali, menimbang, atau menilai.
Resensi film adalah kupasan atau bahkan mendalam mengenai sebuah film yang telah beredar. Resensi biasanya mengandung kritik membangun. Maka biasanya bagi pekerja seni, semakin banyak resensi yang dibuat atas karyanya, mereka akan semakin terhormat. Tujuan membuat resensi adalah untuk memaparkan pemahaman komprehensif tentang film tersebut. Penulis resensi diajak untuk memikirkan, merenungkan, dan mendiskusikan lebih jauh tentang fenomena apa yang muncul dari isi film itu.
Cara membuat resensi film.
1. Kenali filmnya. Tonton filmnya.
2. Amati tema, dan pendeskripsian dalam film tersebut.
3. Tandai bagian yang dapat dijadikan kutipan dalam resensi.
4. Buatlah sinopsis atau intisari film tersebut.
5. Tentukan sikap atas intisari atas film tersebut
Resensi Film. Surga yang (Tak) Dirindukan 2
-Dian Garini Lituhayu-
Film dimulai dengan beberapa scene yang membuat penonton tergelak. Beberapa kilas balik dari sekuel film pertama membuat penonton diantarkan kembali untuk melihat apa yang terjadi di awal perjalanan kehidupan rumah tangga Pras (Fedi Nuril) dan Arini (Laudya Cyntia Bella). Perjalanan Pras menuju bandara untuk mengantarkan Arini yang tengah sibuk mempersiapkan perjalanan promosi bukunya ke Budapest, Hungaria. Masih dengan bumbu kejadian kecelakaan yang terjadi dengan penumpang cedera, seorang perempuan. Bedanya kecelakaan dan korban yang ditolong oleh Pras kali ini, dari bahasa dokter, “lebih stabil..” Di sekuel film pertama, Pras menikahi Meirose (Raline Shah) perempuan yang ditolongnya saat kecelakaan, yang mengalami depresi berat atas permasalahan hidupnya. Bumbu-bumbu dialog polos yang memancing gelak penonton muncul disana sini.
Pemandangan kota Budapest yang romantis dan bangunan-bangunan ikonis memang sangat memanjakan mata penonton. Latar sungai Danube dan jembatan Liberti Syabadzag-Hig yang menjadi ikon utama kota Budapest menjadi daya tarik tersendiri, kalau tidak bisa dikatakan istimewa. Pemandangan dari apartemen Arini juga tak kalah menarik, sebagai variasi pandangan dan sudut ambilan kamera.
Satu yang paling menggoda dari film ini adalah, penonton dibiarkan liar untuk menebak apa yang akan terjadi di akhiran film. Dimulai dari pertemuan tak disengaja di masjid antara Akbar (Keefe Ardiansyah) putra Meirose dan Nadia (Sandrina Michelle) putri Arini. Dialog berjalan wajar dengan mata berbinar saat pertemuan dua perempuan yang menjadi istri Pras itu di tengah taman, yang lagi-lagi berhasil memikat mata dengan kombinasi warna dan mode pakaian yang dikenakan pemeran utamanya. Penonton mungkin baru terpancing emosinya ketika Arini diceritakan pingsan berkali-kali dan akhirnya mengetahui hasil diagnosanya dari dokter yang memeriksanya, dr Syarif (Reza Rahardian). Sang dokter yang diceritakan mencintai Meirose dan berniat menikahinya. Alur bisa ditebak berputar dengan kencang sejak ada siklus pertemuan dr. Syarif-Pras-Arini-Meirose, berulang kali, yang akhirnya menemukan ujung dari masing-masing cerita mereka, dalam perannya masing-masing. Tokoh Arini dalam film ini menguras emosi penonton. Cnytia Laudya Bella memang pas memerankan tokoh ini. Didukung dengan theme song yang diciptakan Melly Goewslaw dan dinyanyikan Krisdayanti, film ini menembus empati penonton.
Potongan puisi Kahlil Gibran, Pablo Neruda sampai WS Rendara muncul dari bibir dr Syarif, yang diceritakan mempunyai banyak karakter kuat dibandingkan Pras, yang kadang-kadang masih terlihat ‘kagok’ atau ‘kikuk’ dengan perannya sebagai seorang laki-laki. Adegan-adegan penutup memang merupakan puncak dimata penonton harus membayangkan berada di posisi Arini yang bersikukuh Pras harus tetap bersama Meirose, sementara Meirose punya kesempatan menata masa depannya bersama lelaki yang datang dalam kehidupannya setelah Pras. Mungkin akhir cerita film ini tidak persis seperti yang diinginkan banyak penonton, dimana Meirose seharusnya bersama dengan laki-laki yang benar-benar mencintainya, bukan dengan laki-laki yang merasa terjebak olehnya.
Perjalanan anak-anak manusia dalam film besutan Hanung Bramantio in mungkin, seperti biasa, dalam film-filmnya, agak sedikit terlalu dramatis atau bahkan lebay dalam bahasa biasa. Tapi hiburan mata dan jiwa bagi manusia Indonesia yang sudah terlalu sering disajikan tontonan nyinyir dan nyindir akan pilihan hidup yang ber-bhineka, saya rasa tontonan ini sangat bagus. Satu saja yang saya tandai dan tidak saya sukai adalah penggunaan pronoun ‘aku’ dan ‘kamu’ untuk pasangan suami istri, berbeda rasa pada penggunaan ‘you’ yang memang plain.
Kesimpulan akhir saya untuk film ini, itulah keajaiban takdir. Dipisahkan karena cinta dan dipertemukan lagi dengan cinta. Tidak tahu kapan bermulai, tidak tahu kenapa dimulai, tak bertele-tele dalam ungkapan, hanya cinta, saja.
I love you without knowing how, or when, or from where.
I love you straightforwardly, without complexities or pride;
so I love you because I know no other way than this. –Pablo Neruda
Film bagus - a resensi
Samarinda, 25 Februari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar