PG/TK/SD Islam Bunga Bangsa
Samarinda, 6 oktober
2012
Oleh: Moh Fadoli
Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap
Anaknya
Bissmillahirrahmanirrahim
Dalam berbagai literatur klasik maupun
kontemporer yang mengupas kewajiban orang tua terhadap anak-anak, disebutkan
begitu banyak hal yang menjadi tanggung jawabnya. Tanggung jawab dan kewajiban
yang banyak orang tua terhadap anak-anaknya itu, terangkum dalam tiga tugas
pokok orang tua.
Rasul SAW bersabda:
“setiap kamu adalah pemimpin, dan
setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang di bawah
kepemimpinannya!” Kalau banyak kaum materialis ateis yang frustasi akibat tidak
memiliki visi hidup dan tidak mampu memformulasikan visi hidupnya, maka seorang
muslim tidak akan pernah didapati mengalami hal yang serupa. Sebab, visi dan
tujuan hidup setiap muslim telah ditetapkan Allah SWT, seperti yang tersirat
dalam firman Allah: “Sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kepada
Allah kami akan kembali”.
…Visi dan tujuan hidup setiap muslim
adalah kembali kepada Allah dan masuk ke dalam surga-Nya. Maka orang tua
bertanggung jawab mendidik seluruh anggota keluarganya agar menjadi hamba Allah
yang taat, sehingga dicatat sebagai golongan Ahli surga
KEDUA, kewajiban memberi nafkah yang
halal.
Islam, dengan sangat
terang menegaskan, bahwa kewajiban setiap ayah untuk memberikan nafkah kepada
istri dan anak-anaknya. Allah berfirman: “Dan menjadi kewajiban para ayah,
untuk memberi makanan dan pakaian kepada istri dan anak-anaknya..”(QS.
Al-Baqarah:233). Kewajiban ini selamanya akan tetap terpikul di pundak para
ayah. Adapun bagi para ibu, tidak ada kewajiban baginya untuk menafkahi
keluarga. jika kemudian pada perkembangannya para ibu bekerja untuk membantu
tugas para ayah memenuhi kebutuhan keluarga dengan tetap menjaga kehormatan
diri ketika keluar rumah, ia akan diberi pahala shadaqah atas apa yang
diberikannya.
Tentang seberapa besar nafkah yang
harus diberikan para ayah kepada istri dan anak-anaknya, syariat Islam tidak
pernah mematok angka nominal harus sekian juta atau ratus ribu untuk tiap bulan
dan lain sebagainya. Setiap orang mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mengumpulkan rupiah. Karena itu, Allah melanjutkan firman-Nya dalam Qs. Al-baqarah:233 “Tidaklah
seseorang diberi beban kewajiban, melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
Orang tua dituntut berhati-hati dalam
memilihkan nafkah untuk keluarganya. Untuk menilai kehalalan atau keharaman
nafkah, paling tidak dapat dilihat dari tiga sisi:
1. Wujudnya/zatnya. Dari sisi
wujud atau zat, nafkah yang halal adalah nafkah yang tidak termasuk dalam
kategori makanan atau minuman yang diharamkan oleh syariat, seperti daging
babi, darah, bangkai, khamr (minuman yang memabukkan) dan lain-lain.
2. Sumber atau cara memperolehnya.
Nafkah yang halal merupakan nafkah yang diperoleh dengan cara-cara yang
direstui syariat, dan tidak dengan cara yang diharamkan. Cara-cara yang
diharamkan, di antaranya, nafkah dari hasil menipu, transaksi riba, korupsi dan
mencuri.
3. Tidak bercampur dengan harta (hak
milik) orang lain. Dalam arti, telah dikeluarkan shadaqahnya. Baik shadaqah
wajib (Zakat) maupun sunnah (infak). Firman Allah: “Dan pada harta-harta
mereka ada hak untuk orang-orang miskin yang meminta-minta dan orang miskin
yang tidak mendapat bagian” (Qs. Ad-Dzariat:19).
Dengan mengeluarkan shadaqah dari
harta, berarti menjadikan harta itu bersih dari hak milik orang lain yang kita
diharamkan untuk memakannya.
Rasul SAW bersabda: “Setiap daging
yang tumbuh dari sesuatu yang haram, maka neraka lebih pantas baginya” (HR.
At-Tirmidzi).
KETIGA, kewajiban mendidik.
Seandainya bukan karena pemenuhan tugas mendidik sebagai bentuk pewarisan nilai-nilai luhur dan hanya memberi makan, pakaian serta tempat tinggal kepada anak-anaknya, niscaya peran orang tua tidak akan jauh berbeda dengan, maaf, hewan. Disebabkan hewan, hanya berfungsi sebagai orang tua biologis yang hanya memikirkan bagaimana memenuhi kebutuhan biologis anak-anaknya.
Seandainya bukan karena pemenuhan tugas mendidik sebagai bentuk pewarisan nilai-nilai luhur dan hanya memberi makan, pakaian serta tempat tinggal kepada anak-anaknya, niscaya peran orang tua tidak akan jauh berbeda dengan, maaf, hewan. Disebabkan hewan, hanya berfungsi sebagai orang tua biologis yang hanya memikirkan bagaimana memenuhi kebutuhan biologis anak-anaknya.
Rasul SAW bersabda: كُلُّ
مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، “Setiap
bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah” tergantung kedua orang tuanya, secara
sadar atau tidak, hendak membentuk mereka seperti apa. Akan membentuk anak-anak
yang shalih yang menyejukkan pandangan mata siapa pun yang mengenalnya, atau
hendak menjadikannya anak thaleh (salah) yang dibenci setiap orang yang
memandangnya. Model pendidikan orang tua, menjadi kunci utama seberapa berhasil
dalam membentuk anak-anak, menjadi anak yang shalih. Oleh karena itu, orang tua
seyogianya tepat dalam menentukan apa-apa diajarkan kepada anak-anak dan
bagaimana metodologi pendidikan terefektif.
Diriwayatkan
dari Ali ra bahwa Nabi saw bersabda,” “ ajarkanlah tiga hal kepada anak-anak
kalian, yakni mencintai nabi kalian, mencintai keluarganya dan membaca
al-qur’an. Sebab, para pengusung al-qur’an berada di bawah naungan arsy Allah
pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naunganNya, bersama para nabi dan
orang-orang pilihanNya. Dan, kedua orang tua yang memperhatikan pengajaran
al-qur’an kepada anak-anak mereka, keduanya mendapatkan pahala yang besar.”
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
Walhamdulillah…