Sungguh benar sabda Rasulullah ketika beliau menyampaikan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُوْنَ علي الإِمَارَةِ وَ سَتَكُوْنُ نَدَامَةٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya
diantara kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan,
padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 7148) Simak penjelasan berikutnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehatkan kepada Abdurrahman bin Samurah :
يَا
عَبْدَ الرَّحْمنِ بن سَمُرَةَ لاَ تَسْألِ الإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ
أُعْطِيْتَها عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَ إِنْ
أُعْطِيْتَهَا عَنْ مَسْأََلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْها
“Wahai
Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena
jika engkau diberi tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh
Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun jika diserahkan
kepadamu karena permintaanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak
akan ditolong).”
يَا
عَبْدَ الرَّحْمنِ بن سَمُرَةَ لاَ تَسْألِ الإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ
أُعْطِيْتَها عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَ إِنْ
أُعْطِيْتَهَا عَنْ مَسْأََلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْها
“Wahai
Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena
jika engkau diberi tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh
Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun jika diserahkan
kepadamu karena permintaanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak
akan ditolong).”
Hadits ini diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 7146 dengan judul “Siapa
yang tidak meminta jabatan, Allah akan menolongnya dalam menjalankan
tugasnya” dan no. 7147 dengan judul “Siapa yang minta jabatan, akan
diserahkan padanya (dengan tidak mendapat pertolongan dari Allah dalam
menunaikan tugasnya)”.
Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 1652 yang diberi judul oleh Al-Imam An-Nawawi “Bab Larangan meminta jabatan dan berambisi untuk mendapatkannya”.
Masih berkaitan dengan permasalahan diatas, juga didapatkan riwayat dari Abu Dzar Al-Ghifari. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku sebagai pemimpin?” Mendengar permintaanku tersebut beliau menepuk pundakku seraya bersabda:
يَا
أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيْفٌ وَ إِنَّها أَمَانَةٌ وَ إِنَّها يَوْمَ
الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَ نَدامَةٌ إِلاَّ من أَخَذَها بِحَقِّها وَ أَدَّى
الَّذِي عَلَيْه فِيْها
“Wahai
Abu Dzar, engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu adalah
amanah. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan
penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa
yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut.” (Shahih, HR. Muslim no. 1825)
Dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا
أَبَا ذّرٍّ إِنَّي أَرَاكَ ضّعِيْفًا وَ إِنَّي أُحِبُّ لك ما أُحِبُّ
لِنَفْسِي لاَ تَأَمَّرَنَّ اثْنَيْنِ و لاَ تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيْمٍ
“Wahai
Abu Dzar, aku memandangmu seorang yang lemah, dan aku menyukai untukmu
apa yang kusukai untuk diriku. Janganlah sekali-kali engkau memimpin dua
orang dan jangan sekali-kali engkau menguasai pengurusan harta anak
yatim.” (Shahih, HR. Muslim no. 1826)
Al-Imam An-Nawawi membawakan kedua hadits Abu Dzar di atas dalam kitab beliau Riyadhush Shalihin, bab “Larangan
meminta jabatan kepemimpinan dan memilih untuk meninggalkan jabatan
tersebut jika ia tidak pantas untuk memegangnya atau meninggalkan ambisi
terhadap jabatan”.
Menjadi
seorang pemimpin dan memiliki sebuah jabatan merupakan impian semua
orang kecuali sedikit dari mereka yang dirahmati oleh Allah. Mayoritas
orang justru menjadikannya sebagai ajang rebutan, khususnya jabatan yang
menjanjikan lambaian rupiah (uang dan harta) dan kesenangan dunia
lainnya.
Sungguh benar sabda Rasulullah ketika beliau menyampaikan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُوْنَ علي الإِمَارَةِ وَ سَتَكُوْنُ نَدَامَةٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 7148)
Bagaimana
tidak, dengan menjadi seorang pemimpin, memudahkannya untuk memenuhi
tuntutan hawa nafsunya berupa kepopuleran, penghormatan dari orang lain,
kedudukan atau status sosial yang tinggi di mata manusia, menyombongkan
diri di hadapan mereka, memerintah dan menguasai kekayaan, kemewahan
serta kemegahan.
Wajar
bila kemudian untuk mewujudkan ambisinya ini, banyak elit politik atau
‘calon pemimpin’ dibidang lainnya, tidak segan-segan melakukan politik
uang dengan membeli suara masyarakat pemilih atau mayoritas anggota
dewan. Atau ‘sekedar’ uang tutup mulut untuk meminimalisir komentar
miring saat berlangsungnya kampanye, dan sebagainya. Bahkan ada yang
ekstrim, ia pun siap menghilangkan nyawa orang lain yang dianggap
sebagai rival dalam perebutan kursi kepemimpinan tersebut. Atau
seseorang yang dianggap sebagai duri dalam daging yang dapat menjegal
keinginannya meraih posisi tersebut. Nas-alullah as-salamah wal ‘afiyah.
Berkata Al-Muhallab sebagaimana dinukilkan dalam Fathul Bari (13/135): “Ambisi
untuk memperoleh jabatan kepemimpinan merupakan faktor yang mendorong
manusia untuk saling membunuh. Hingga tertumpahlah darah, dirampasnya
harta, dihalalkannya kemaluan-kemaluan wanita (yang mana itu semuanya
sebenarnya diharamkan oleh Allah) dan karenanya terjadi kerusakan yang
besar di permukaan bumi.”
Seseorang
yang menjadi penguasa dengan tujuan seperti di atas, tidak akan
mendapatkan bagiannya nanti di akhirat kecuali siksa dan adzab. Allah
berfirman:
تِلْكَ
الدَّارُ الأخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذَِيْن لاَ يُرِيْدُونَ عُلُوًّا فِي
الأَرْضٍ وَلاَ فَسَادًا وَالعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ
“Itulah
negeri akhirat yang Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin
menyombongkan diri di muka bumi dan tidak pula membuat kerusakan. Dan
akhir yang baik itu hanya untuk orang-orang yang bertakwa.” (Al-Qashash:83)
Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan: “Allah
mengkhabarkan bahwasanya negeri akhirat dan kenikmatannya yang kekal
tidak akan pernah lenyap dan musnah, disediakan-Nya untuk
hamba-hamba-Nya yang beriman, yang tawadhu’ (merendahkan diri), tidak
ingin merasa tinggi di muka bumi yakni tidak menyombongkan di hadapan
hamba-hamba Allah yang lain, tidak merasa besar, tidak bertindak
sewenang-wenang, tidak lalim, dan tidak membuat kerusakan di tengah
mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/412)
Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin: “Seseorang
yang meminta jabatan seringnya bertujuan untuk meninggikan dirinya di
hadapan manusia, menguasai mereka, memerintahnya dan melarangnya.
Tentunya tujuan yang demikian ini jelek adanya. Maka sebagai balasannya,
ia tidak akan mendapatkan bagiannya nanti di akhirat. Oleh karena itu
seseorang dilarang untuk meminta jabatan.” (Syarh Riyadhdus Shalihin, 2/469)
Sedikit
sekali orang yang berambisi menjadi pimpinan, kemudian berpikir tentang
kemaslahatan umum dan bertujuan memberikan kebaikan kepada hamba-hamba
Allah dengan kepemimpinan yang kelak bisa dia raih. Kebanyakan mereka
justru sebaliknya, mengejar jabatan untuk kepentingan pribadi dan
kelompoknya. Program perbaikan dan janji-janji muluk yang
digembar-gemborkan sebelumnya, tak lain hanyalah ucapan yang manis di
bibir. Hari-hari setelah mereka menjadi pemimpin yang kemudian menjadi
saksi bahwa mereka hanyalah sekedar mengobral janji kosong dan ucapan
dusta yang menipu. Bahkan yang ada, mereka berbuat zhalim dan aniaya
kepada orang-orang yang dipimpinnya. Ibaratnya ketika belum mendapatkan
posisi yang diincar tersebut, yang dipamerkan hanya kebaikannya. Namun
ketika kekuasaan telah berada dalam genggamannya, mereka lantas
mempertontonkan apa yang sebenarnya diinginkannya dari jabatan tersebut.
Hal ini sesuai dengan pepatah ‘musang berbulu domba’. Ini sungguh
merupakan perbuatan yang memudharatkan diri mereka sendiri dan nasib
orang-orang yang dipimpinnya.
Betapa
rakus dan semangatnya orang-orang yang menginginkan jabatan ini,
sehingga Rasulullah menggambarkan kerakusan terhadap jabatan lebih dari
dua ekor serigala yang kelaparan lalu dilepas di tengah segerombolan
kambing. Beliau bersabda:
ما ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلا في غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لها من حِرْصِ المَرْءِ على المَالِ و الشَّرَفِ لِدِيْنِهِ
“Tidaklah
dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah segerombolan kambing
lebih merusak dari pada merusaknya seseorang terhadap agamanya karena
ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi.” (HR. Tirmidzi no. 2482, dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/178)
Sifat Seorang Pemimpin
Ditengah
gencarnya para elit politik menambang suara dalam rangka memperoleh
kursi ataupun jabatan, maka layak sekali apabila hadits yang
diriwayatkan dari Abdurrahman bin Samurah dan Abu Dzar di atas
dihadapkan kepada mereka, khususnya lagi pada hadits Abu Dzar yang
menyebutkan kriteria yang harus diperhatikan dan merupakan hal mulia
jika ingin menjadi pemimpin. Rasulullah berkata kepada Abu Dzar: “Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah”.
Ucapan seperti ini bila disampaikan secara terang-terangan memang akan
memberatkan bagi yang bersangkutan dan akan membekas di hatinya. Namun
amanahlah yang menuntut hal tersebut. Maka hendaknya dijelaskan kepada
orang tersebut mengenai sifat lemah yang melekat padanya. Namun jika
seseorang itu kuat, maka dikatakan padanya ia seorang yang kuat. Dan
sebaliknya, bila ia seorang yang lemah maka dikatakan sebagaimana
adanya. Yang demikian ini merupakan suatu nasehat. Dan tidaklah berdosa
orang yang mengucapkan seperti ini bila tujuannya untuk memberikan
nasehat bukan untuk mencela atau mengungkit aib yang bersangkutan.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata: “Makna
ucapan Nabi kepada Abu Dzar adalah beliau melarang Abu Dzar menjadi
seorang pemimpin karena ia memiliki sifat lemah, sementara kepemimpinan
membutuhkan seorang yang kuat lagi terpercaya. Kuat dari sisi ia punya
kekuasaan dan perkataan yang didengar/ditaati, tidak lemah di hadapan
manusia. Karena apabila manusia menganggap lemah seseorang, maka tidak
tersisa baginya kehormatan di sisi mereka, dan akan berani kepadanya
orang yang paling dungu sekalipun, sehingga jadilah ia tidak teranggap
sedikitpun. Akan tetapi bila seseorang itu kuat, dia dapat menunaikan
hak Allah, tidak melampaui batasan-batasannya, dan punya kekuasaan. Maka
inilah sosok pemimpin yang hakiki.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 2/472)
Rasulullah juga menyatakan kepada Abu Dzar bahwa kepemimpinan itu adalah sebuah amanah.
Karena memang kepemimpinan itu memiliki dua rukun, kekuatan dan amanah,
hal ini dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan dalil:
إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَئْجَرَْتَ اَلْقَوِيُّ الأَمِيْنُ
“Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (Al-Qashash: 26)
Penguasa Mesir berkata kepada Yusuf ‘Alaihissalam:
إنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِيْنٌ أمِيْنٌ
“Sesungguhnya kamu mulai hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.” (Yusuf: 54)
Allah menyebutkan sifat Jibril dengan menyatakan:
إنَّهُ لَقَوْلُ رَسُوْلٍ كَرِيْمٍ. ذِى قُوَّّّّةٍ عِنْدَ ذِى الْعَرْشِ مَكِيْنٍ. مُطَاعٍ ثَمَّ أمِيْنٍ.
“Sesungguhnya
Al Qur’an itu benar-benar firman Allah yang dibawa oleh utusan yang
mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi
di sisi Allah yang memiliki ‘Arsy. Yang ditaati di kalangan malaikat
lagi dipercaya.” (At-Takwir: 19-21)
Beliau rahimahullah berkata: “Amanah
itu kembalinya kepada rasa takut pada Allah, tidak menjual ayat-ayat
Allah dengan harga yang sedikit, dan tidak takut kepada manusia. Inilah tiga perangai yang Allah tetapkan terhadap setiap orang yang memutuskan hukuman atas manusia. Allah berfirman:
فَلا
تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ َولا تَشْتَرُوْا بِئَايَاتِ اللهِ
ثَمَنًا قَََلِيْلاً وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ أَنْزَلَ الله
ُفَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ
“Maka
janganlah kalian takut kepada manusia, tapi takutlah kepada-Ku. Dan
jangan pula kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Siapa
yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itu
adalah orang-orang kafir.” (Al-Maidah: 44)(As-Siyasah Asy-Syar’iyyah, hal. 12-13)
Al-Imam Al-Qurthubi menyebutkan beberapa sifat dari seorang pemimpin ketika menafsirkan ayat:
وَإذِ
ابْتَلَى إبْرَاهِمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إنِّى
جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِيَّتِى قاَلَ لا يَنَالُ
عَهْدِى الظَّالِمِيْنَ
“Dan
ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat
(perintah dan larangan), kemudian Ibrahim menunaikannya. Allah
berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu sebagai imam (pemimpin)
bagi seluruh manusia’. Ibrahim berkata: ‘(Dan saya mohon juga) dari
keturunanku’. Allah berfirman: ‘Janji-Ku (ini) tidak mengenai
orang-orang yang zhalim’.” (Al-Baqarah: 124)
Beliau berkata: “Sekelompok
ulama mengambil dalil dengan ayat ini untuk menyatakan seorang imam
(pemimpin) itu harus dari kalangan orang yang adil, memiliki kebaikan
dan keutamaan juga dengan kekuatan yang dimilikinya untuk menunaikan
tugas kepemimpinan tersebut.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 2/74)
Sebenarnya
masih ada beberapa syarat pemimpin yang tidak disebutkan di sini karena
ingin kami ringkas. Mudah-mudahan, pada kesempatan yang lain bisa kami
paparkan.
Nasehat bagi mereka yang sedang berlomba merebut jabatan/kepemimpinan
Kepemimpinan
adalah amanah, sehingga orang yang menjadi pemimpin berarti ia tengah
memikul amanah. Dan tentunya, yang namanya amanah harus ditunaikan
sebagaimana mestinya. Dengan demikian tugas menjadi pemimpin itu berat,
sehingga sepantasnya yang mengembannya adalah orang yang cakap dalam
bidangnya. Karena itulah Rasulullah melarang orang yang tidak cakap
untuk memangku jabatan karena ia tidak akan mampu mengemban tugas
tersebut dengan semestinya. Rasulullah juga bersabda:
إِذَا
ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ. قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُها
؟ قال: إِذَا وُسِّد الأَمْرُ إلى غَيْرِ أَهْلِها فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
“Apabila
amanah telah disia-siakan, maka nantikanlah tibanya hari kiamat. Ada
yang bertanya: Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan menyia-nyiakan
amanah? Beliau menjawab: ‘Apabila perkara itu diserahkan kepada selain
ahlinya, maka nantikanlah tibanya hari kiamat”.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 59)
Selain
itu, jabatan tidak boleh diberikan kepada seseorang yang memintanya dan
berambisi untuk mendapatkannya. Abu Musa radhiallahu ‘anhu berkata: “Aku
dan dua orang laki-laki dari kaumku pernah masuk menemui Rasulullah.
Maka salah seorang dari keduanya berkata: ‘Angkatlah kami sebagai
pemimpin, wahai Rasulullah’. Temannya pun meminta hal yang sama. Bersabdalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّا لا نُوَلِّي هذا مَنْ سَأَلَه وَ لاَ من حَرَصَ عليه
“Kami
tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan
tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya.” (HR. Al-Bukhari no. 7149 dan Muslim no. 1733)
Hikmah
dari hal ini, kata para ulama adalah orang yang memangku jabatan karena
permintaannya, maka urusan orang tersebut akan diserahkan kepada
dirinya sendiri dan tidak akan ditolong oleh Allah, sebagaimana sabda
Rasulullah kepada Abdurrahman bin Samurah di atas: “Bila engkau diberi
tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi
taufik kepada kebenaran). Namun bila diserahkan kepadamu karena
permintaanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong).”
Siapapun yang tidak ditolong maka ia tidak akan mampu. Dan tidak mungkin
jabatan itu diserahkan kepada orang yang tidak cakap. (Syarah Shahih
Muslim, 12/208, Fathul Bari, 13/133, Nailul Authar, 8/294)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata: “Sepantasnya
bagi seseorang tidak meminta jabatan apapun. Namun bila ia diangkat
bukan karena permintaannya, maka ia boleh menerimanya. Akan
tetapi jangan ia meminta jabatan tersebut, dalam rangka wara’ dan
kehati-hatiannya dikarenakan jabatan dunia itu bukanlah apa-apa.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 2/470)
Al-Imam An-Nawawi berkata ketika mengomentari hadits Abu Dzar: “Hadits
ini merupakan pokok yang agung untuk menjauhi kepemimpinan terlebih
lagi bagi seseorang yang lemah untuk menunaikan tugas-tugas kepemimpinan
tersebut. Adapun kehinaan dan penyesalan akan diperoleh bagi orang yang
menjadi pemimpin sementara ia tidak pantas dengan kedudukan tersebut
atau ia mungkin pantas namun tidak berlaku adil dalam menjalankan
tugasnya. Maka Allah menghinakannya pada hari kiamat, membuka
kejelekannya, dan ia akan menyesal atas kesia-siaan yang dilakukannya.
Adapun orang yang pantas menjadi pemimpin dan dapat berlaku adil, maka
akan mendapatkan keutamaan yang besar sebagaimana ditunjukkan oleh
hadits-hadits yang shahih, seperti hadits: “Ada tujuh golongan yang
Allah lindungi mereka pada hari kiamat, di antaranya imam (pemimpin)
yang adil”. Dan juga hadits yang disebutkan setelah ini tentang
orang-orang yang berbuat adil nanti di sisi Allah (pada hari kiamat)
berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Demikian pula hadits-hadist
lainnya. Kaum muslimin sepakat akan keutamaan hal ini. Namun bersamaan
dengan itu karena banyaknya bahaya dalam kepemimpinan tersebut.
Rasulullah memperingatkan darinya, demikian pula ulama. Beberapa orang
yang shalih dari kalangan pendahulu kita mereka menolak tawaran sebagai
pemimpin dan mereka bersabar atas gangguan yang diterima akibat
penolakan tersebut.” (Syarah Shahih Muslim, 12/210-211)
Ada sebagian orang menyatakan bolehnya meminta jabatan dengan dalil permintaan Nabi Yusuf kepada penguasa Mesir:
اِجْعَلْنِيْ عَلَى خَزَآئِنِ الأرْضِ إِنِّي حَفِيْظٌ عَلِيْمٌ
“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (Yusuf: 55)
Maka
dijawab, bahwa permintaan beliau ini bukan karena ambisi beliau untuk
memegang jabatan kepemimpinan. Namun semata karena keinginan beliau
untuk memberikan kemanfaatan kepada manusia secara umum sementara beliau
melihat dirinya memiliki kemampuan, kecakapan, amanah, dan menjaga
terhadap apa yang tidak mereka ketahui. (Taisir Al-Karimirrahman, hal.
401)
Al-Imam Asy-Syaukani berkata: “Nabi
Yusuf meminta demikian karena kepercayaan para Nabi terhadap diri
mereka dengan sebab adanya penjagaan dari Allah terhadap dosa-dosa
mereka (ma’shum). Sementara syariat kita yang sudah kokoh (tsabit) tidak
bisa ditentang oleh syariat umat yang terdahulu sebelum kita, karena
mungkin meminta jabatan dalam syariat Nabi Yusuf pada waktu itu
dibolehkan.” (Nailul Authar, 8/294)
Ketahuilah
wahai mereka yang sedang memperebutkan kursi jabatan dan kepemimpinan,
sementara dia bukan orang yang pantas untuk mendudukinya, kelak pada
hari kiamat kedudukan itu akan menjadi penyesalan karena
ketidakmampuannya dalam menunaikan amanah sebagaimana mestinya. Al-Qadhi
Al-Baidhawi berkata: “Karena itu tidak sepantasnya orang yang
berakal, bergembira dan bersenang-senang dengan kelezatan yang diakhiri
dengan penyesalan dan kerugian.” (Fathul Bari, 13/134)
Faedah Hadits
1.
Kepemimpinan, jabatan, kekuasaan, dan kedudukan tidak boleh diberikan
kepada orang yang memintanya, berambisi untuk meraihnya, dan menempuh
segala cara untuk mendapatkannya.
2.
Orang yang paling berhak menjadi pemimpin, penguasa, dan memangku
jabatan/kedudukan adalah orang yang menolak ketika diserahkan
kepemimpinan, jabatan dan kedudukan tersebut dalam keadaan ia benci dan
tidak suka dengannya.
3.
Kepemimpinan adalah amanah yang besar dan tanggung jawab yang berat.
Maka wajib bagi orang yang menjadi pemimpin untuk memperhatikan hak
orang-orang yang di bawah kepemimpinannya dan tidak boleh mengkhianati
amanah tersebut.
4.
Keutamaan dan kemuliaan bagi seorang yang menjadi pemimpin dan penguasa
apabila memang ia pantas memegang kepemimpinan dan kekuasaan tersebut,
sama saja ia seorang pemimpin negara yang adil, ataukah bendahara yang
terpercaya atau karyawan yang menguasai bidangnya.
5.
Ajakan kepada mereka untuk tidak berambisi meraih kedudukan tertentu,
khususnya bila ia tidak pantas mendapat kedudukan tersebut.
6.
Kerasnya hukuman bagi orang yang tidak menunaikan kepemimpinan dengan
semestinya., tidak memperhatikan hak orang-orang yang dipimpin dan tidak
melakukan upaya optimal dalam memperbagus urusan kepemimpinannya.
Dikutip
dari :
majalah Asy Syariah Vol I/No. 06/Muharram 1425 H, hal.40-45
Penulis:Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq AlAtsari Judul asli: Hukum Meminta
Jabatan.
http://qurandansunnah.wordpress.com/